RumahCom – Judicial review terhadap UU No. 1/2011 tentang Perumahan  dan Kawasan Pemukiman (PKP) telah bergulir, khususnya pasal adalah pasal 22 ayat  3 yang menyatakan luas rumah tapak paling sedikit 36 meter persegi. Di saat  banyak pengamat dan stake holder properti mempermasalahkan peraturan  tersebut, DPP REI dinilai santai dan adem ayem. 
“Bukan adem  ayem, kami sebagai pengusaha tidak boleh emosional,” tukas Setyo Maharso.  “Kita lihat memang undang-undang ini bermasalah, tetapi sebenarnya tujuannya  bagus. Tinggal bagaimana caranya kita mencari solusi.”  Maharso menambahkan,  “Yang harus dilakukan, bagaimana kita memberi peluang dan mencari terobosan  supaya produk tersebut bisa dibeli secara massal oleh masyarakat.”
“Kami  juga sedang melakukan rapat mengenai masalah pembiayaan perumahan ini, supaya  nanti masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan haknya dengan harga terjangkau.  Jadi, kalau kita berkutat dengan judicial review, waktu kita habis  terbuang dan kita tidak bisa bekerja,” jelas Maharso.
Judicial Review, No Comment! 
Maharso mengatakan. “Saya  no comment saja, karena saya sudah mengumpulkan anggota REI dari seluruh  Indonesia, dan hasilnya tidak melakukan judicial review,” katanya.  
Secara organisasi, tambah Maharso, REI memang tidak melakukan  judicial review terhadap undang-undang ini, dengan alasan kondisi di  masing-masing daerah berbeda. Dia mengatakan, dalam setiap peraturan, mesti ada  yang pro dan kontra, bahkan sesama anggota REI sendiri.
“Tidak benar  kami tidak memerhatikan perumahan bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah),  karena dari 3.000 anggota REI, 65% diantaranya memproduksi rumah MBR. Target  kami tahun ini membangun 234.000 untuk MBR. Sebanyak 45% - 60% diantaranya  dibangun di Jawa,” papar Maharso.
Untuk mengatasi masalah kesenjangan  harga rumah antar-daerah, saat ini REI tengah mengusulkan kepada Pemerintah  untuk membuat pemetaan terhadap indeks kemahalan konstruksi per kawasan.
 
 
No comments:
Post a Comment