Wednesday, April 18, 2012

Penetapan Harga Rumah Sesuai Wilayah

Beberapa waktu yang lalu, Menpera menetapkan harga Rp 70 juta untuk rumah tipe 36 lewat program FLPP. Namun penetapan harga tersebut menuai kritikan dari berbagai pihak. Misalnya dari pihak pengembang, sebagai pemangku kepentingan di sektor perumahan, menilai harga tersebut terlalu rendah-sehingga sulit bagi pengembang untuk mengambil marjin keuntungan.
Ketua DPP Real Estat Indonesia (REI), Setyo Maharso menyatakan, program FLPP Kemenpera saat ini tidak bisa jalan, karena stok rumah yang ada di bawah tipe 36, sementara stok rumah tipe 36 yang baru, belum clear harganya, karena terjadi deadlock dalam perundingan. “Bank BTN saja baru bisa menjual 600 unit,” kata Setyo kepada Rumah.com beberapa waktu lalu.
Melihat kesenjangan harga yang terjadi, REI mengusulkan agar harga rumah tipe 36 dibagi atas tiga wilayah: Sumatera, Jawa, dan Kalimantan harga rumah Rp88 juta; Papua Rp145 juta; Sulawesi, Batam, dan Bali Rp95 juta. “Harga tersebut berdasarkan Direktorat Cipta Karya di Departemen Pekerjaan Umum yang punya data indeks kemahalan konstruksi,” kata Setyo. “Mudah-mudah dengan pembagian ini, harga bisa lebih fair.”
Penyesuaian tersebut, bagi Setyo, bisa lebih mempermudah masyarakat untuk mengakses rumah dengan beragam kemudahan dan pembebasan PPN. “Saat ini, kami sedang mencoba menyasati backlog dan pertumbuhannya. Kalau aturannya yang berlaku seperti ini, masyarakat tidak akan mampu membeli rumah,” tukasnya.
Untuk menyiasati program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang mandek, akhir Maret lalu REI merangkul Bank BNI guna meluncurkan KPR Griya Idaman. Saat ini, imbuh Setyo, REI baru bekerjasama dengan Bank BNI, tetapi tidak menutup kemungkinan bekerjasama dengan bank-bank lain. Dia menambahkan, KPR ini berlaku bagi konsumen yang membeli rumah pada developer yang masuk dalam keanggotaan REI.
“Dengan KPR Griya Idaman, kami tidak lihat bunga, tetapi berapa uang angsuran per bulan. Masyarakat umumnya tidak melihat besaran bunga, tetapi berapa mereka harus bayar per bulan dan berapa lama tenornya,” jelas Setyo, yang mengatakan skema angsuran KPR Griya Idaman bisa mencapai 20 tahun.



Infrastruktur Hari ini Pkl. 07:49 WIB
Medan Bisnis
MedanBisnis - Jakarta. Pembangunan rumah tipe 36 yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada dasarnya merupakan upaya pemerintah untuk memberikan standar minimal. Selain itu, juga menjamin kepastian hukum, menjamin aspek kesehatan, sosial, lingkungan dan keseimbangan ruang gerak anggota penghuni. Tentunya dalam melakukan interaksi personal dan sosial.
Untuk itu, pembangunan rumah tipe 36 tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar mereka bisa menempati rumah yang lebih layak huni tanpa sesuai standar WHO tentang luasan per orang yakni 9 meter persegi.
Hal tersebut disampaikan saksi ahli dari pemerintah, Aca Sugandhy saat Sidang Uji Materill (Judicial Review) tentang Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 oleh Apersi tentang PKP di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa kemarin. "Rumah Tipe 36 sebenarnya tidak merugikan masyarakat dan malah membantu mereka sesuai standar minimal WHO tentang luas lantai per orang serta menjamin kepastian hukum, menjamin aspek kesehatan, sosial, lingkungan dan keseimbangan ruang gerak anggota penghuninya," ujarnya.

Menurut mantan Ketua Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I) itu, sesuai standar WHO tentang rumah layak huni yang sehat, ukuran luas rumah yang dibuat adalah perkiraan rata-rata jumlah orang dalam satu keluarga (keluarga inti) yang diasumsikan beranggotakan 4 orang yakni suami, istri, dengan dua orang anak. Sedangkan mobilitas per orang dalam rumah adalah 9 meter. "Jadi ketentuan luas lantai rumah tunggal minimal 36 meter persegi," tandasnya.

Sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU PKP, luas lantai rumah minimal 36 meter persegi dan berbagai kebijakan Pemerintah bukan hanya sekedar terbangunnya tempat tinggal dan mengejar target serta pertimbangan kemampuan ekonomi saja.

Hal ini terbukti adanya pergeseran dari awal tahun 1950 - an yang menetapkan rumah rakyat sehat adalah dengan luas bangunan antara minimal 45m2 sd 50 m2 untuk satu KK dengan hunian 5 jiwa. Adanya pertimbangan ekonomi kemudian mengorbankan pertimbangan teknis yang sebetulnya menjadi tidak layak huni seperti tipe 18, 21, 27 sebagai rumah tumbuh (RSS) yang di dalam pertumbuhannya terjadi secara tambal sulam dalam pembangunannya.

"Karena bangunannya tidak standar dan bahan bangunannya sulit diperoleh kembali akibatnya biaya pembangunannya bertambah mahal sehingga ada kerugian ekonomi dan social. Dari sudut sosial budaya tipe luasan tempat tinggal tersebut popular oleh masyarakat menjadi RSSS (rumah sempit susah segalanya)," imbuhnya.

Selain itu, rumah yang dibangun di bawah tipe 36 kebanyakan tidak dihuni dan hanya menjadi ajang spekulasi tanah, dan harga bangunan. Oleh karena itu, dalam perkembangan terakhir dengan pertimbangan rasa keadilan maka RSH berubah menjadi rumah sejahtera baik untuk rumah tapak maupun rumah susun.

"Saya selaku ahli berpendapat Pemerintah adalah tepat telah memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena dari sudut kedudukan hukum sangat tidak mendasar. Pendapat pemohon seperti itu sangat sempit karena hanya dikaji dari sudut ekonomi saja. Yaitu karena alasan kenaikan harga bangunan standard dan luasan tanah yang menyebabkan harga jual rumah tidak terjangkau disamping kemungkinan kerugian bangunan yang terbangun tidak dapat terjual," ungkapnya.

Lebih lanjut, Aca Sugandhy mengungkapkan, pengadaan perumahan bukan hanya tanggung jawab negara. Seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pada Ayat 4 Pasal 28H berikutnya serta Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28D Ayat1 jelas jelas menekankan kebersamaan dalam penyelesaian hak yang dimiliki rakyat dan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan.

"Ketentuan ini mengandung perintah bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan pelayanan kesehatan merupakan hak dasar yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh negara," tuturnya.

Dia juga sependapat dengan pemerintah dan berkeyakinan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Perumahan tidak sedikitkpun mengandung unsur merugikan secara konstitusional bagi anggota masyarakat Indonesia. "Karena ketentuan a quo bersesuaian secara vertikal dengan ketentuan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," terangnya.

Sementara itu, mantan Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Asy"ari yang juga hadir dalam sidang tersebut menyatakan bahwa sidang di MK seharusnya tidak harus membahas apakah pasal yang diuji itu benar atau salah. Akan tetapi dirinya berharap hasil dari sidang di MK ini dapat memberikan hasil yang terbaik dalam program penyediaan rumah bagi masyarakat berpeghasilan rendah (MBR) di Indonesia. "Saya merasa penetapan luas lantai per orang yang ditetapkan kurang tepat karena akan mempersulit kaum duafa memiliki rumah yang layak huni," ujarnya.

Namun demikian, dirinya menganjurkan agar program rumah inti bagi masyarakat dilanjutkan kembali. Jika peraturan ini tidak dapat diubah lagi, maka setidaknya MK bisa memberikan tenggang waktu atau masa transisi sehingga rumah tipe 36 meter persegi yang dibangun oleh para pengembang bisa terjual. Jika ada masa tenggang dalam pelaksanaan pasal ini, maka dikhawatirkan ada kerugian nasional di sektor perumahan.

"Saya berpendapat agar pelaksanaan pasal ini bisa ditunda minimal lima tahun. Jika dalam kurun waktu tersebut ada peningkatan kesejahteraan masyarakat tentunya pelaksanaan pasal ini bisa dilanjutkan kembali," harapnya.

No comments:

Post a Comment