MedanBisnis – Medan. Rencana pemerintah mewajibkan perumahaan memakai litrik tenaga surya (solar cell) sebagai penghematan penggunaan listrik, tidak hanya memicu terhentinya pembangunan karena biaya produksi bertambah. Kebijakan tersebut pun masih jauh dari jangkauan dan tidak efisien diberlakukan di perkotaan.
Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Wilayah Sumut, Raidir Galingging mengatakan, penggunaan tenaga surya untuk perumahaan itu akan sulit diaplikasikan, apalagi rumah yang berada di kota. "Tidak efisien dan masih jauh dari jangkauan. Untuk penghematan listrik banyak yang bisa dilakukan, namun terpenting bagaimana daya atau kapasitas tenaga listrik terus ditambah seiring pertumbuhan penduduk dan permintaan baru," ujarnya kepada wartawan di Medan, Senin kemarin.
Dikatakannya, pemakaian tenaga surya ini diperkirakan harus memiliki radius 400 meter persegi untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Jadi kalau semua rumah nanti menggunakan tenaga surya, maka harus diletak di mana alat tenaga surya tersebut. "Kecuali di pulau-pulau terpencil dengan kapasitas rumah yang sedikit. Kalau di kota diberlakukan, ini tidak akan bisa jalan," ucap Raidir.
Diakuinya, memang saat ini pasokan listrik belum aman kemampuan terpasang sumber tenaga yang ada sekitar 1.600 megawatt. Sisa power yang belum terpakai hanya 100 megawatt, sedangkan beban puncak saat ini bisa mencapai 1.500 megawatt.
Untuk menjaga stabilitas pasokan, diharapkan penambahannya dapat dipenuhi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pangkalan Susu dengan kapasitas 2 x 200 megawatt dan belum terhitung tambahan dari power Asahan III yang tengah dikaji. "Pasokan itu akan aman jika bisa mencapai 30% dari beban puncak. Jadi kalau sekarang memang belum aman dan kekurangan," ungkapnya.
Dirincikannya, pelanggan listrik di Sumut mencapai sebanyak 2.688.891 sambungan dan daya sebesar 3.509.-033.970 VA yang meliputi golongan tarif sosial, kantor pemerintahan, industri, bisnis dan rumah tangga.
Pertambahan pelanggan PLN menurutnya, terus naik sebesar 7% hingga 8% setiap tahun. "Untuk industri saja, energi yang terjual pertahunnya bisa mencapai 28,50% atau dengan kenaikan pelanggan 0,13%, sedangkan konsumsi rumah tangga energi terserap mencapai 45,71% dan tingkat pelanggan 93,58%," kata Raidir.
Lain hal bagi pengembang, Wakil Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Sumut, Heri Mashuri Hanafiah, mengatakan, pihak pengembang pun akan terbebani dengan rencana kebijakan pemerintah tersebut dengan mewajibkan setiap perumahaan menggunakan listrik tenaga surya.
Sebab, biaya produksi akan bertambah. Hal itu tentunya berimbas pada kenaikan harga rumah. Sementara menurutnya, saat ini daya beli masyarakat masih terus menurun. "Tapi kalau saja alat listrik tenaga surya itu murah atau hanya sekitar Rp 1 juta/unit, atau bahkan disubsidi pemerintah, maka bisa saja pengembang mau melakukan kebijakan itu. Tapi kalau modalnya saja sudah besar, ini yang dapat mengancam pembangunan rumah selanjutnya," kata Heri.
Dia pun memprediksi, kebijakan penghematan energi tersebut akan berimbas pada masyarakat, karena pembangunan perumahaan akan tergangu, sehingga kebutuhan rumah untuk masyarakat juga tidak bisa terpenuhi dengan cepat. Seharusnya, kata dia, untuk memenuhi pasokan listik adalah tugas pemerintah, bukan malah rakyat yang dibebankan dengan kebijakan yang belum tentu bisa dilaksanakan ini.
Sebelumnya Sekretaris Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Irwan Ray mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan pemerintah mewajibkan pengembang menggunakan listrik tenaga surya untuk penerangan.
Namun, kebutuhan itu harus diberikan pemerintah dalam bentuk subsidi kepada pengembang. "Untuk pengembang menengah ke bawah dengan menggunakan listrik tenaga surya, maka biaya produksi akan bertambah. Bayangkan saja untuk rumah dengan daya listrik surya 450 watt, pengembang harus berinvestasi Rp 90juta/unit rumah. Jadi kebijakan ini sudah tidak masuk akal, kalau harga rumah yang diberi FLPP hanya Rp 70 juta/unit," ucapnya seraya menambahkan kalau panel disubsidi tidak akan menjadi masalah. (yuni naibaho)
No comments:
Post a Comment